Posted by : Viona Angelica Friday 7 October 2016

Reader 1 : "Wow! Author yang lama hilang kini kembali pulang."
Reader 2 : "Dari mana aja, lo?"
Viona      : "Ya maap, kemarin-kemarin nggak ada bahan yang mau diomongin jadi terpaksa off dulu."
Reader 3 : "Kalo nggak niat ngga usah ngeblog."
Viona      : "Kan uda minta maap tadi :'( Daripada marah-marah nih ada serial romance baru."
Reader 1 : "Paling juga nggak abis lagi kayak CLM, mogok ditengah jalan, kan nggantung."
Viona      : "Didoain sama-sama aja biar nggak ogok tengah jalan, yah."
Reader 3 : "Halah..."
Viona      : "Bercanda, pasti tuntas kok. Baca aja."

(Peringatan : ekspektasi kadang tidak sesuai realita. Cerita berikut mungkin saja tidak seindah ekspektasi Anda, apalagi cover sementarannya yang asal-asalan buatnya cuma biar gambar di depan nggak keliatan kosong :p)

Irony Before Me


PROLOGUE
Aku terbangun di ruangan gelap gulita dengan posisi berbaring di atas matras keras dan dingin. Pasukan berjubah hijau muda mengerubungi tubuhku seakan berebut untuk memakanku hidup-hidup. Mereka mengenakan penutup kepala dan masker berwarna putih kehijauan sehingga aku cuma bisa memandang kedua mata mereka.
Selang masih menancap di hidungku, menyekokiku dengan angin. Selang lain menusuk tanganku, menyambungkannya dengan wadah plastik berisi cairan kebiruan yang digantung di dekat tubuhku. Benda hitam tertempel di dadaku, menyambungkannya dengan televisi yang hanya menampilkan garis diagram hijau terang di atas warna hitam.
Aku tak ingat apa pun, sama sekali.
“Selamat datang kembali, Dik.” seorang dari kelompok itu melepaskan maskernya dan tersenyum padaku.
Aku hanya bisa menatapnya dengan mata beloku dalam diam. Karena aku tidak cepat bereaksi, seorang wanita berpakaian serba putih dengan topi aneh bertanda plus hijau di tengahnya mencopot semua alat di tubuhku—kecuali selang di tanganku, lalu mendorong matras dan tiang yang digantungi cairan kebiruan itu keluar dari ruangan.
Begitu cahaya merasuk dalam mataku, ingatan langsung terputar kembali di otakku. Namaku Emma, aku lahir dengan kedua ginjal lemah sehingga harus bolak-balik ke rumah sakit untuk cek kesehatan dan terkadang cuci darah. Selang, suntik, dan jarum seakan sudah menjadi sahabat karibku.
Suatu hari perutku terasa terbakar. Rasa sakit menjalar dari perutku ke seluruh tubuhku, hingga membuat napasku tersengal-sengal. Perlahan-lahan mataku terasa berat. Aku tau pasti hari itu juga aku tidak akan selamat, sehingga aku cuma bisa memaksakan seulas senyum lemah pada kerabat yang hadir untukku saat itu. Hal terakhir yang kudengar hanyalah suara tangis ibuku yang pecah di tengah-tengah suara panik yang mengatakan, “Kita perlu donor ginjal!”
“Emma!” panggilan ibuku membuyarkan lamunanku.
Wajah cantiknya tampak sayu. Rambutnya diikat satu sekenanya. Matanya merah dan berkantung. Hidungnya berair. Ia masih terisak. Di sebelahnya hadir ayahku. Wajahnya yang selalu menampilkan ketegasan juga melembut. Ia menatapku dengan kedua mata cokelatnya yang kuwarisi. Aku lagi-lagi cuma bisa memaksakkan seulas senyum pada mereka sebab tubuhku masih terasa lemas.
“Dia akan segera membaik.” kata suster yang tengah mendorongku.
Cuma butuh waktu semenit untuk kembali ke ruang serba putih sebesar kamar tidurku. Aku dipindahkan ke kasur empuk yang bisa digerakkan dengan remote. Doggie, boneka anjing kesayanganku sudah menunggu di atas meja sejak tadi. Potongan-potongan jeruk yang belum sempat kuhabiskan juga masih ada di atas meja. Senang rasanya bisa kembali.
“Jangan seneng dulu.” sebuah suara yang sama sekali tidak familiar terdengar dari balik  pintu seakan membaca pikiranku.
“Oh, Gilbert! Masuk-masuk.” ibuku langsung buru-buru membukakan pintu untuknya.
Kedua orang tuaku tampak sibuk menyambut sosok di balik pintu itu.
Tak lama kemudian, masuklah seorang anak laki-laki seumuranku yang mengenakan kaos putih dilengkapi rompi cokelat muda dan celana panjang yang senada dengan rompinya. Rambut hitam berponinya disisir ke samping, menirukan artis-artis ternama. Mata hitam kecokelatannya yang sipit mencorong menatapku tajam seakan hendak memangsaku hidup-hidup. Alis tebalnya bertaut saat ia menyilangkan tangan di depan dada. Dari awal saja aku sudah merasa tidak cocok dengannya. Aku tidak akan mau berteman dengannya, tidak akan pernah.
“Mama, siapa dia?” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke ibuku yang berdiri di sampingnya.
“Gilbert Oswald, orang yang kamu ambil ginjalnya.” sahut cowok itu sewot tanpa mengubah cara pandangnya.
“Oh, makasih.” kataku tanpa menemui matanya.

“Nggak usah seneng dulu, di dunia ini nggak ada yang gratis. Mulai sekarang, kamu harus jadi temenku, Emma Cornelia.” selepas kalimat itu meluncur dari bibir tebalnya, neraka hadir dalam hidupku.[]

Let's go to [Satu[Dua] [Tiga]

Leave a Reply

Feel free to add your comment

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

blog emoticon

What I posted on:

Translate

Copyright © It's story time -Black Rock Shooter- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan